Wednesday, 6 August 2008

Vice Versa

minggu kedua di Taize, gue semakin banyak menemukan perbedaan.

tahukah kamu kalau disini, matahari baru menutup matanya pada pukul sepuluh malam? pagi hari sih normal, sunrise jam enam pagi. tapi sunset baru jam sepuluh malam. tapi kayak gini ini yang bikin badan ngerasa cape bener. kerasanya dalam satu hari kok waktu berjalan lambat bener yak, siang mulu gitu kaga malem2...

minggu kedua ini gue ngejalanin (lagi) bible introduction, tapi dengan tema dan grup yang berbeda. hari demi hari berjalan, gue baru tahu ternyata gue yang paling tua di grup gue. yang laen umurnya ga ada yang lewat dari 20 tahun. pantes gue kurang sreg sama jalannya diskusi. kerasa banget betapa keukeuhnya mereka sama pendapat masing-masing. yang kemudian baru gue ketahui adalah rata-rata dari mereka adalah agnostik (mengakui bahwa Tuhan itu ada, tapi tidak percaya kepada-Nya (kalo definisi gue rada salah, silahkeun diperbaiki). yah gue emank uda sering denger bahwa rata-rata orang Eropa tuh berpikiran seperti ini. tapi ngedenger sendiri dari mulut mereka itu cukup membuat jempol kaki gue shock (secara gue ga bisa pasang muka shock, maklum, calon psikolog gitu loh! hehe).

mengetahui hal tersebut, di dalam diri gue ada si insting psikolog yang langsung berdiri dan berkata, "wah, menarik sekali! saya ingin mendalaminya lebih lanjut!". tetapi ada lagi insting yang lain yang berdiri dan berkata, "hih, nista! jangan dekat2 ma mereka deh!". lalu insting tersebut duduk ladi dan berbisik pelan, "nanti ketularan...".

di minggu ketiga, di hari jumat, seorang bruder dari Indonesia meminta gue untuk jadi pembicara (narasumber) di sebuah workshop bertema "how to sharing life with Moslem believers" untuk kedua kalinya (karena minggu lalu gue jadi pembicara juga di workshop yang sama). simpel aja kok, gue cuma nyeritain pengalaman gue selama gue duduk di bangku SMUN 21 yang rata2 Muslim kan, dan i have no problem at all with them.

di workshop yang kedua ini, ada seorang cowo Muslim asal Belgia yang kebetulan datang ke Taize dan ikutan workshop ini. di dalam workshop tersebut, dalam beberapa kali kesempatan, ia ngasih pendapat dan pandangan dari seorang Muslim. luar biasa. pendapat dan pandangannya cukup membuka mata gue akan situasi religi di Eropa.

seusai workshop, besoknya gue ketemu lagi sama orang itu secara ga sengaja, dan kami pun terlibat percakapa yang cukup dalam. yang gue kagum dari orang ini adalah dia begitu terbukanya deengan agama lain. dia cerita bahwa dia punya teman yang cukup dekat, sehingga bisa disebut sebagai guru spiritualnya yang beragama Budha, dia tahu banyak tentang ajaran-ajaran agama Hindu, dan ini adalah ketiga kalinya dia datang ke Taize.

yang membuat gue tersadar adalah, orang itu melakukan lebih dari sekadar menerima perbedaan yang terdapat pada orang (atau agama) lain, yaitu memahami perbedaan tersebut. dia udah ngasih kunci jawaban, bahwa jika kita sudah berhasil memahami perbedaan tersebut lebih dalam, maka kita justru akan menemukan kesamaan antara diri kita dengan perbedaan tersebut. tentu yang lebih penting adalah bukan hasilnya tetapi prosesnya, bagaimana cara untuk mencapai pemahaman akan perbedaan tersebut.

tentunya kalau soal menerima perbedaan, kita semua yang udah masuk usia dewasa muda udah bisa melakukan hal tersebut. bergaul dengan teman-teman yang punya pandangan atau prinsip yang berbeda, hadir dalam rapat dimana banyak perbedaan pendapat, sampai pada pacar yang tentunya kurang lebih punya banyak perbedaan dengan kita. yup, sebagai dewasa kita bisa nerima itu semua. tapi sebagai manusia, bisa ga sih kita memahami perbedaan tersebut? memahami teman-teman yang punya pandangan, prinsip, atau perbedaan yang berbeda, kira2 apa yang membuat mereka seperti itu, memahami perbedaan sang pacar...

tapi satu hal yang pasti adalah, sudah ada satu bukti nyata bahwa ada satu manusia yang gue temui yang mampu memahami perbedaan sesama. dia bisa melakukan hal tersebut. wowh.
gue?

hm, kayaknya disini adalah tempat yang tepat untuk memulainya.

No comments:

Post a Comment